Kamis, 08 April 2010

Bendung Kayangan, Karya Cikal Bakal Dusun Kayangan



Kulonprogo - Tradisi tahunan Saparan Rebo Pungkasan di Bendung Kayangan Dukuh Turus Pendoworejo Girimulyo merupakan tradisi turun-temurun yang hingga sekarang masih terus dilakukan warga setempat. Tradisi itu untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan. Oleh warga, Mbah Bei Kayangan dipercaya sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Konon, Mbah Bei Kayangan adalah abdi dalem Prabu Brawijaya yang melarikan diri dari Majapahit bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaita.

Dalam pelariannya Mbah Bei Kayangan memutuskan untuk istirahat sejenak sekaligus bertapa di pertemuan Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan yang kini masuk wilayah Pendoworejo Girimulyo. Dari pertapaannya Mbah Bei Kayangan mendapat wangsit agar membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan dan ladang.

Untuk memenuhi kebutuhan pasokan air, terutama saat tiba musim kemarau, Mbah Bei berinisiatif untuk membuat bendungan secara manual. Setelah Mbah Bei meninggal, bendungan itu diberi nama Bendung Kayangan. Dinamakan Bendung Kayangan karena di bagian hulu bendungan terdapat sebuah tebing yang salah satu sisinya berdiri tegak lurus dan dinamakan Tebing Kayangan.

Hasil kerja keras Mbah Bei Kayangan yang membendung pertemuan dua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo itu hingga kini membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitar bendungan. Untuk mengenang jasa Mbah Bei Kayangan, setiap tahun diadakan Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan.

Upacara tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan biasa diawali dengan arak-arakan sesaji dan kenduri yang kemudian disusul oleh iring-iringan kelompok kesenian, tamu undangan, dan masyarakat umum.

Sesampainya di pinggir sungai lokasi bendungan, arak-arakan kelompok kesenian itu unjuk gigi di hadapan para tamu dan masyarakat umum. Kesenian yang dipentaskan adalah kuda lumping atau jathilan. Usai digunakan berpentas kuda-kuda lumping itu dimandikan di bendungan. Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping.

Setelah ritual memandikan kuda lumping selesai, acara dilanjutkan dengan kenduri Saparan. Berbagai menu tradisional yang sudah tertata rapi di pinggir bendungan dibagikan pada seluruh pengunjung setelah didoakan pemangku adat setempat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur juga sebagai simbol dari rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.

Menurut pemangku adat, Sri Mulyono (60) kenduri Saparan Rabu Pungkasan memiliki keunikan. Pasalnya, selain menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa. Dua menu tersebut yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam).

"Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan yang wajib ada dalam kenduri Saparan ini. Menariknya, dua buah jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja" tutur Mulyono.

Mulyono menambahkan, pelaksanaan upacara tradisi ini dilaksanakan dengan skala besar baru pada 2006. Sebelumnya acara Rabu Pungkasan dilaksanakan dengan hanya dengan kenduri di rumah kadus. Sadar bahwa manfaat Bendung Kayangan tidak hanya dirasakan oleh warga Pendoworejo, timbullah inisiatif untuk membuat acara merti bendungan dengan melibatkan banyak dusun. Ada sekitar 12 dusun yang dilibatkan dengan harapan dapat lebih menyatukan dan memberi rasa kebersamaan. (leo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar