Jumat, 23 April 2010

Perempuan "Besi" asal Panjatan


Kulonprogo – Tak pernah terbayangkan jika cangkul, sabit, dan peralatan pertanian lain yang dijual di pasar Wates sebagiannya adalah buah karya dari Mbok Minah. Meski usianya sudah hampir separuh abad, ibu dari empat orang anak ini masih setia menekuni profesinya sebagai tukang pande besi.

Saat ditemui di rumahnya di pedukuhan VII RT 25 RW 23 Gotakan Panjatan, Mbok Minah tengah sibuk menyelesaikan pesanan cangkul dari pelanggannya. Setelah besi yang dibakar di tungku telah membara, secara bergantian Mbok Minah dan suaminya, Tukijo (50) menempanya berkali-kali hingga pipih seperti bentuk yang diinginkan. Palu seberat 4 kg itu tampak mengayun ringan di genggaman tangan Mbok Minah yang kurus dan keriput.

“Dulu kami bisa menyelesaikan sekitar sepuluh perkakas setiap harinya. Karena kini banyak tukang pande besi bermunculan, omset kami pun berkurang. Sekarang kami hanya memande jika ada pesanan atau sekedar melayani reparasi” terang Mbok Minah yang mengaku sudah menjalani profesinya sebagai pemande besi selama 30 tahun.

Selain sepi order, usaha Mbok Minah ini juga terkendala pada mahalnya harga besi dan arang batok kelapa untuk bahan bakar tungkunya. Harga besi yang terus naik hingga kini 6 ribu per kilonya dan arang kelapa seharga 25 ribu per karung tak berimbang dengan murahnya nilai jual hasil karyanya.

“Harga murah saja sudah sepi order, bagaimana jadinya kalau dinaikkan. Yang penting cukup untuk makan sehari-hari. Untuk mencukupi kebutuhan lainnya, kami lebih mengandalkan dari hasil bertani” ujar Mbok Minah sambil sesekali menyeka peluh di wajahnya.

Namun demikian, Mbok Minah tetap meluangkan waktunya untuk memande untuk disetorkan ke pedagang di pasar Wates.

“Bagaimanapun juga, dari pande besi ini kami bisa mengentaskan empat anak yang kini semuanya telah berkeluarga” pungkas Mbok Minah yang baru akan “gantung pukul” jika memang fisiknya sudah tidak memungkinkan. (leo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar