Kamis, 01 April 2010

Yudo Diharjo


“Ada berita apa Bos hari ini? Oiya, kapan fotoku dimuat lagi?” tanya Yudo setiap kali bertemu denganku. Rasa bangga pengasong koran ini karena wajahnya pernah sekali nampang di kolom “Suara Warga” membuatnya selalu mengajukan pertanyaan yang sama padaku.

“Sepi Mas, cuma berita kemalingan kecil-kecilan. Waduh, sudah nggak bisa muncul lagi Mas. Kan masih banyak warga lain yang ingin aspirasinya dikorankan” jawabku. Meski demikian, ia tak pernah berhenti menanyakan hal itu saat perjalananku tertambat di lampu merah tempatnya menggantungkan hidup.

...

Perkenalanku dengan Yudo berawal sejak minggu pertama aku menjejakkan kaki di Wates Kulonprogo. Tidak tersedianya jatah koran gratis dari kantor memaksaku untuk "menebus" koran yang ditawarkan Yudo setiap pagi di Simpang Lima Karang Nongko Wates. Meski harganya tak seberapa, selembar koran terbukti cukup licin untuk melancarkan akses menembus ketatnya informasi di kantor polisi.

Semula aku tak pernah tertarik menulis di kolom "Suara Warga", kolom kecil bagi mereka yang ingin menanggapi isu terkini. Karena saat itu belum satu pun berita yang kuperoleh, akhirnya kuputuskan menulis statement Yudo. Kebiasaan meluangkan waktu untuk membaca bermacam koran dagangannya membuat Yudo lancar menjawab saat kumintai pendapat mengenai kasus Prita Mulyasari yang sedang heboh.

Di sela menunggu traffic light menyala merah, wawancara yang semestinya cukup singkat itu malah melebar hingga pertanyaanku mengarah ke kehidupan pribadinya. Aku sempat terkejut saat ia mengatakan usianya hanya terpaut lima tahun di atasku. Mungkin beratnya beban menjadi single parent dengan tanggungan tiga anak yang masih kecil-kecil membuat wajahnya menua belum pada waktunya.

Sejak pagi buta Yudo berangkat dari rumah sederhananya di seputaran wilayah pasar Godean Sleman untuk mengambil koran di Kademangan Jogja yang selanjutnya dijual di Wates.

Meski tak jarang Yudo harus mengasong hingga petang, laba yang didapatnya tak seberapa. Sejak bercerai dengan istrinya yang tidak tahan untuk terus hidup miskin, Yudo harus lebih keras membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Namun demikian, senyum khas Yudo tak pernah luntur dari sudut bibirnya.

Esok paginya Yudo menyambutku dengan senyum yang luar biasa. Belum sempat aku turun dari motor, ia langsung memelukku erat sambil tak henti-hentinya mengucap terima kasih. Semua mata otomatis tertuju padaku. Yudo tak peduli.

Foto wajahnya seukuran 3 x 4 cm disertai sekelumit aspirasi “hasil provokasiku” yang mencatut namanya muncul di koranku. Mungkin baru kali ini tangan kurusnya mendekap puluhan eksemplar koran yang di halaman depannya terpampang wajahnya.

Saking bangganya, ia tunjukkan pada setiap pembeli. “Lihat, ini fotoku!” katanya girang. Sesekali ia menunjuk ke arahku yang hanya terpaku saja menyaksikan tingkahnya yang mendadak kekanak-kanakan. "Dia Wartawannya. Dia yang menulis. Dia yang memfoto. Dia sahabatku" teriaknya pada sopir truk, kondektur bus, dan tukang becak langganannya.

Sejak saat itulah Yudo selalu menghujaniku dengan permintaan yang sama. “Ada berita apa Bos hari ini? Oiya, kapan fotoku dimuat lagi?” sambil sesekali menepuk pundakku. Meski berkali-kali kuberi alasan kalau masih banyak warga lain yang ingin aspirasinya dikorankan, berkali-kali juga ia ajukan pertanyaan yang sama. Terakhir aku mendengar pertanyaan itu sekitar seminggu yang lalu. Pertanyaan yang terkadang membuatku bosan, “Ada berita apa Bos hari ini? Oiya, kapan fotoku dimuat lagi?”

Seperti biasa, sebelum nongkrong di kantor SPK Polres Kulonprogo, aku menyempatkan waktu barang sejenak untuk menyeruput secangkir kopi sambil membaca beritaku yang terbit hari ini di kantor Media Center. Belum habis rokok di tangan, sebuah pesan singkat menggetarkan handphoneku.

"33//Karangnongko//MD" (Kecelakaan di Karangnongko, meninggal dunia).

Bersama beberapa wartawan aku langsung meluncur. Tak sampai lima menit aku sudah tiba di simpang lima Karangnongko. Beberapa petugas Satlantas tampak sibuk lalu lalang. Puluhan warga sudah menyemut di tepi utara Jalan Khudori Wates hingga lalu-lintas sempat macet beberapa saat. Setelah menyibak kerumunan massa, aku melihat sebuah sedan yang ringsek pada kap mesinnya dan kaca depannya rontok. Di sebelahnya sebuah motor sudah tak karuan bentuknya.

Selain karena ramainya lokasi, gerimis pagi itu juga membuatku tak sempat untuk menentukan angle yang tepat untuk menjepret. Sementara teman-temanku sibuk mengumpulkan data dari para saksi, aku memutuskan segera ke RSUD Wates. Sebab terdengar kabar kalau korban sudah dievakuasi ke RSUD Wates. Dalam gerimis yang segera menjelma hujan deras itu aku berpacu dengan waktu. " Aku harus dapat foto si korban sebelum keluarganya berdatangan " kataku dalam hati.

Sesampainya di RSUD, tujuanku langsung ke ruang jenazah yang terletak di ujung paling belakang. Kedatanganku seketika disambut Pak Khudori, petugas jaga ruang jenazah yang sudah hapal dengan maksud kunjunganku. Tanpa banyak cakap, Pak Khudori langsung mengantarku menuju ruang jenazah.

Saat pintu kamar jenazah dibuka, tidak seperti biasanya kakiku terasa berat untuk melangkah ke dalam. Tanpa menoleh ke arahku, Pak Khudori menyingkap kain putih yang menutup sesosok mayat yang sudah ditelanjangi sambil berkata "Maaf mas, belum sempat dimandikan. Ya seperti ini keadaannya".

"Astaghfirullah Al’Adzim. Innalillahi Wa Ina Illahi Roji'un" kalimat yang jarang sekali ku ucapkan itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Saat kain itu disingkap perlahan dari atas, aku melihat teman sekaligus satu-satunya orang yang kutahu selalu setia menanti hasil liputanku setiap pagi. Yudo! Dari kelopaknya yang sedikit terbuka, aku melihat bola matanya menatap ke arahku. Meski wajahnya berlumuran darah dan kotor oleh pasir, senyum khasnya masih tersungging di bibirnya.

Tak seperti biasanya. Kali ini aku tak meminta Pak Khudori untuk berpose pura-pura sedang menyingkap kain kafan. Segera kubidikkan kameraku. Satu jepretan untuk seluruh tubuhnya, dan satu jepretan lagi untuk mengenang senyum di wajahnya.

Sesudah itu aku langsung mohon ijin untuk keluar. Sebatang rokok kusulut untuk menenangkan pikiranku. Dengan lunglai aku meninggalkan ruang jenazah. Bagaimanapun juga aku harus segera kembali ke lokasi kecelakaan untuk menggali data.

Besok paginya, berita kematian Yudo menjadi headline di koranku. Lengkap dengan foto jenazahnya yang diburamkan sekaligus grafis kronologis kejadiannya.

Pengasong Koran Tewas Disruduk Sedan

Kulonprogo – Seorang pengasong koran, Yudo Diharjo (29) warga Bantut V Sidorejo Godean Sleman tewas disruduk sedan yang melanggar lampu merah di simpang lima Karangnongko Wates, Selasa (30/3) pagi. Korban sempat terseret sejauh 60 meter sebelum akhirnya terpental.

Saksi Kuswandi, 46, menuturkan sedan dari arah timur itu tetap melaju kencang meski lampu lalu-lintas sudah menyala merah.

“Saat hendak menerobos lampu merah dengan mengambil jalur kiri, sedan itu menabrak korban yang tengah menawarkan koran ke pengguna jalan yang berhenti” terangnya.

Bersambung ke halaman 7


Maaf Sobat! Setidaknya aku sudah memenuhi permintaan terkakhirmu. Meski bukan foto seperti ini yang kau harapkan dulu.

Wates, 31 Maret 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar